Patih Jaga Pati Menerima Lounching Buku Sumpah Kedaulatan Dayak

Serah terima buku sumpah kedaulatan Dayak dari penerbit kepenulis dan kepada Patih Jaga Pati (istimewa)

 

Ketapang, RADAR TANJUNGPURA – Peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati di hari ke-3 (hari terakhir) di gang kelapa gading, kelurahan Sukaharja, kecamatan Delta Pawan, kabupaten Ketapang, pada Sabtu (4/5/2024), beragendakan Lounching atau peluncuran buku Sumpah Kedaulatan Dayak Patih Jaga Pati, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua.

Rangkaian acara lounching buku Sumpah Kedaulatan Dayak terdiri dari serah-terima buku dari pihak penerbit (lembaga literasi Dayak di jakarta) kepada penulis (masri sareb putra dan Thomas tion), kemudian dari penulis buku diserah-terimakan kepada Patih Jaga Pati (Alexander Wilyo). Setelah itu, Patih Jaga Pati pun menanda-tangani back drop cover buku Sumpah Kedaulatan Dayak dengan tinta emas.

Mengawali sambutannya, Alexander Wilyo secara pribadi menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapa saja yang turut meringankan langkah, meluangkan waktu untuk hadir di acara peresmian Balai Kepatian Jaga Pati, Ia juga menjelaskan bahwa seluruh rangkaian prosesi adat atau ritual adat Menaiki Rumah Agung Jurong Tinggi Balai Kepatihan Jaga Pati sudah dilaksanakan selama dua hari, yakni dari tanggal 2 sampai tanggal 3 Mei 2024. Puncaknya pendirian Ponti’ Padagi dengan penyatuan tanah arai (tanah dan air) dari seluruh wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh.

Lebih lanjut, Alexander Wilyo menjelaskan terkait dengan Laman Sembilan Domong Sepuluh dan Patih Jaga Pati.

“Itu adalah sebutan atau silsilah yang menunjukkan wilayah adat Kerajaan Hulu Aik atau Kerajaan Tongkat Rakyat, yang memang memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Tanjungpura Kuno, termasuk dengan Kerajaan Majapahit. Jadi, memang ada kaitan erat dengan asal-usul dengan Prabu Jaya. Karena dulu dikisahkan bahwa Prabujaya dari Kerajaan Majapahit menikah dengan Dayang Putong, puteri Raja Hulu Aik, yang menurunkan raja-raja Tanjungpura kuno, sampai sekarang, setelah era Islam Majapahit berganti menjadi Demak” jelas Alexander Wilyo.

“Orang-orang Dayak di bawah Raja Hulu Aik tetap memegang teguh adat jalan jamban titi sejak karosik mula tumbuh tanah mula menjadi, yang dulu diwariskan, dan sampai sekarang orang Dayak masih kuat memegang tradisi-tradisi itu. Saya dipesalin atau dinobatkan sebagai Patih Jaga Pati juga memberi tugas untuk menjaga, menegakkan adat, budaya, dan tradisi.” tambahnya.

Tidak hanya adat, budaya, tradisi Dayak, Alexander Wilyo juga meminta supaya budaya, tradisi seluruh suku bangsa yang lain harus dirawat dan di lestarikan.

“Oleh karena itu, saya mengundang semua disini untuk meneguhkan hati kita dalam menjaga, memelihara adat, budaya, tradisi suku apapun.” pintanya.

Mendalam, Alexander Wilyo juga menegaskan bahwa sampai hari masyarakat adat Laman Sembilan Domong Sepuluh tetap eksis menjaga adat, bukan menjaga wilayah kekuasaan politik, bukan menjaga wilayah kekuasaan pemerintahan. Karena wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh itu melewati batas-batas, sekat-sekat administrasi pemerintahan.

“Dari Desa Darat Pantai Kapuas, Labai Lawai, Simpang Sekayok, Laor-Jokak, Bihak-Krio, Kayong-Gerunggang, Tolak Sekayok, Pesaguan Sekayok, Jelai Sekayok, Kendawangan Seakaran, bahkan sampai ke Kalteng. Yang menyatukannya adalah pusaka, yang sampai hari ini masih tetap dijaga, dirawat, dan setiap tahun diadakan ritual mencuci pusaka, yang dinamakan adat Meruba, yakni mencuci pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat. Inilah satu-satunya bukti eksistensi, bukti supremasi Kerajaan Hulu Aik, pemegang pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat, yang orang Dayak manapun tahu dengan itu” terangnya.

Mengakhiri sambutannya, secara khusus Alexander Wilyo menyampaikan ucapan terima kasih kepada DR. Masri Sareb Putra, penulis Buku Kedaulatan Dayak. Karena Masri Sareb Putralah yang mendorong Patih Jaga Pati agar membukukan jejak-jejak Kepatihan Jaga Pati yang berisi tentang seluruh peristiwa, acara adat, serta ritual-rirual adat.

“Saya kira, itulah yang dimaksud dengan makna berdaulat secara budaya. Artinya kita tidak malu, kita bangga dengan adat, budaya, tradisi kita. Kita masih menjaganya, masih memeliharanya, masih mempertahankannya dimanapun dan kapanpun.” tukasnya.

“Yang kedua, berdaulat secara ekonomi. Artinya wajar ketika seluruh masyarakat Kabupaten Ketapang bisa berdaulat secara ekonomi, bisa menikmati semua kekayaan alam, semua kelimpahan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Apalagi daerah Ketapang yang sangat kaya-raya, sangat subur, ada sawit, ada tambang, ada kayu. Saya pikir wajar kalau masyarakat Kabupaten Ketapang punya keinginan, punya cita-cita masyrakat Ketapang yang sejahtera, masyarakat Ketapang yang lebih maju, selaras dengan visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Ketapang: Ketapang maju dan sejahtera” imbuhnya.

“Yang ketiga, berdaulat secara politik. Wajar juga bila ada keinginan di masyarakat agar bisa menjadi pemimpin di wilayah sendiri. Kalau ini bukan sumpah, tetapi anggap saja cita-cita, harapan, yang mudah-mudahan bisa kita wujudkan kapanpun waktunya.” Pungkasnya.

Turut hadir pada acara hari ke-3 peresmian Balai Kepatihan tersebut, antara lain: Bupati Ketapang, Pj. Bupati Sanggau, Raja Hulu Aik ke-51, para utusan masyarakat Dayak kabupaten lain, Ketua Majelis Raja Matan, keluarga Kerajaan Simpang, Forkopimda Kabupaten Ketapang, Wakil Ketua DPRD, Ketua Sekberkesda Provinsi Kalimantan Barat, Uskup Keuskupan Ketapang, para pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang, para ketua paguyuban etnis, para tokoh adat.

Penulis: NikEditor: ANS